Selasa, 09 Juni 2015

Tugas terakhir "Kemelut Di Partai Golkar (Tinjauan Dari Sisi Hukum)"



Partai Golkar, hari –hari ini tengah dilanda kemelut internal yang dahsyat. Kemelut dahsyat itu dipicu sikap Aburizal Bakrie, alias ARB, alias Ical, yang ngotot maju kembali menjadi calon ketua umum. Perpecahan pun tak lagi terbendung. Setelah Agung Laksono (Wakil Ketua Umum) bersama para sekutunya sesame rival ARB membentuk Presidium Penyelamat Partai Golkar (P3G). Beberapa jam sebelum tercetusnya P3G, pecah ‘insiden AMPG di kantor DPP Golkar, saat pengurus DPP sedang membahas tindak lanjut keputusan Rapimnas Yogyakarta perihal Pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX pada 30 November 2014.

Beda pendapat soal jadwal pelaksanaan Munas menjadi alasan terpecahnya partai beringin. Kubu ARB, untuk dan atas nama mengamankan keputusan Rapimnas Yogyakarta, bersikeras melaksanakan Munas pada 30 November. Sedangkan kubu Agung Laksono menuntut Munas tetap diselenggarakan pada Januari 2015 sesuai keputusan Rapat Pleno DPP Golkar yang linear dengan hasil Munas VIII Pekanbaru 2009. Alasan yuridis yang dikemukakan kubu ARB adalah kedudukan hokum Rapimnas lebih tinggi dibandingkan Rapat Pleno DPP, dan berada satu tingkat dibawah Munas, alhasil bila tidak ada hal luar biasa yang memaksa terjadinya penundaan, maka Munas IX Golkar bakal tetap digelar di Bali pada 30 November  hingga 3 Desember.

Seorang tokoh Golkar asal Nusa Tenggara Timur, Melchias Markus Mekeng, yang juga seorang intelektual ekonomi, melukiskan perihal dahsyatnya kemelut di tubuh Golkar dengan pernyataan agak menyengat, yakni “ada manipulasi demokrasi di Golkar”. Seolah-olah ada demokrasi di Golkar padahal sebenarnya tidak. Demokrasi di Golkar hanyalah kemasan. Pernyataan ini mengandung makna bahwa yang terjadi di Golkar sebenarnya adalah “demokrasi seolah-olah”. Dalam perkembangan terkini, seperti dikutip beberapa media social, Mekeng melakukan perlawanan terbuka terhadap ARB. Terkini, anggota DPR-RI asal NTT ini, melemparkan pernyataan yang lebih menyengat, bahwa ARB lebih focus mengurusi masalah hutangnya daripada mengurus partai atau Negara.

Sebagai partai tertua dalam sejarah politik kontemporer Indonesia, Golkar tentu memiliki kematangan dalam urusan pelembagaan demokrasi. Dalam banyak pengalaman konflik kepartaian, Golkar mempunyai daya tahan yang tangguh dalam mengelola konflik faksionalitas di dalam tubuhnya sendiri. Alhasil, Golkar menjadi semacam rujukan atau tolak ukur dari kemajuan peradaban budaya demokrasi di Indonesia. Suka tidak suka, senang tidak senang, para pihak lain di luar Golkar pun mesti mengakui bahwa Golkar memiliki kematangan politik dalam hal pengelolaan kehidupan berdemokrasi.

Kini, mengapa Golkar bisa terpecah? Mengapa pula ada elemen Golkar yang tergoda melakukan huru-hara fisik, padahal kekuatan Golkar selama ini justru berada di area rasionalitas, area dimana wacana dan pemikiran subur berproduksi? Dengan demikian, perpecahan Golkar saat ini menjadi penanda yang sungguh berbahaya bagi Golkar sendiri, bahwa partai yang sarat pengalaman ini justru sedang berjalan mundur memasuki fase kegelapan demokrasi. Perpecahan dan huru-hara fisik yang terjadi, dengan demikian boleh disebut “anomaly (keanehan)” terbesar di tubuh Golkar. Quo vadis Golkar usai retak? Mau kemana Golakr yang kini tertampar oleh anomaly politik memalukan itu?

Perpecahan ditubuh Golkar akibat manuver dan saling telikung diantara para calon ketua umum, yakni antara calon incumbent (ARB) si satu sisi dan dengan para seterunya antara lain Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Airlangga Hartanto, bakal merembes secara cepat ke area barisan kader Golkar, mulai dari level pusat hingga ke struktur kecamatan bahkan desa. Pun, bakal mengganggu sangat serius soliditas organisasi pendiri dan yang didirikan Golkar (baca : kino Golkar).
Kubu-kubu yang bertikai di Golkar berupaya menunjukan sikap tulus untuk menjaga eksistensi sekaligus masa depan partai. Namun, seperti lazimnya, di panggung partai praktis sungguh sulit mengukur kadar ketulusan. Yang bissa ditakar hanyalah kepentingan. Bila kepentingan saling bertautan, maka ketulusan dating menampakkan wajah. Tapi, bila kepentingan saling berpunggungan, maka ketulusan pun pergi memalingkan rupa.

Apa gerangan yang membuat ARB bersikeras maju kembali menjadi calon ketua umum? Apa pula alasan yang membuat Agung Laksono cs bersikeras menghadang langkah ARB? Ragam spekulasi politik pun berseliweran. Dalam konteks politik kekinian, spekulasi terkuat yang melatari huru-hara Golkar adalah “political positioning” terhadap rezim berkuasa hasil Pilpres 2014. Ada tarik-menarik yang kuat antara kubu yang menginginkan Golkar ikut koalisi rezim berkuasa, dengan kubu yang menghendaki Golkar melakoni kekuatan barunya kekuatan oposan.

Di ranah parlemen, Golakr menjadi pemain kunci dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri vis a vis dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tampaknya ARB berkepentingan mengawal peran sentral Golkar di KMP. Sedangkan para seteru ARB sangat mungkin menggiring Golkar berkoalisi dengan rezim berkuasa. Kendati dianggap kurang berpretasi memimpin Golkar selama 5 tahun berjalan, tapi satu hal yang patut diapresiasi pada ARB adalah kemampuannya membentuk watak baru Golkar sebagai kekuatan oposan, idem ditto penyeimbang. Mungkin konsistensi menjadi kekuatan penyeimbang ilmiah yang sedang jadi pertaruhan ARB. Respek kolektif Golkar pada ARB sangat mungkin berlipatganda jika dia secara legowo membuka jalan regenerasi.

Jika sebelumnya sangat diharapkan bahwa pemerintah bisa memberikan keputusan yang akan ditepati kedua kubu dengan keluarnya keputusan Menteri Hukum Dan Ham Yassona Laoly yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono sebagai pengurus yang sah.

Maka keputusan pemerintah ini melalui kementrian Hukum dan Ham belum menyelesaikan kisruh Golkar karena kepengerusan partai Golkar Ical merasa tidak puas akan keputusan tersebut dianggap sebagai keputusan pemerintah yang mengintervensi partai Golkar.

Namun sebalikinya justru pemerintah melalui menteri Hukum Dan Ham Yassona Laoly mengatakan bahwa keputusan tersebut berdasarkan keputusan sidang mahkamah partai Golkar dan hal inilah menjadi acuan pemerintah untuk mengesahkan kepengurusan Agung Laksono sebagai pengurus Golkar yang sah.

Memang tidak bisa dipungkiri jika Golkar terus kisruh maka dapat dipastikan partai beringin tersebut tidak akan mampun mengikuti pilkada di beberapa tahun ini atau tahun depan namun dengan adanya keputusan kementrian Hukum dan Ham tersebut merupakan sebuah keputusan yang sangat tepat sehingga partai Golkar tetap bisa berpartisipasi mengusung calon kepala daerah pada pilkada tahun ini atau tahun depan.

Keputusan ini bukan hanya membawa dampak seperti keikutsertaan partai Golkar dalam pilkada sudah didepan mata, namun dampak lainnya akibat yang diakui adalah kepengurusan partai Golkar kubu Agung Laksono yang sudah berjanji akan keluar dari koalisi KMP dan bergabung mendukung KIH.

Ancaman terpecahnya KMP tentunya sebuah konsekuensi politik logis yang begitu mahal akibat kubu Ical yang memotori KMP tidak diakui sebagai penguruh yang sah justru terpilih Agung Laksono yang ingin membawa Golkar keluar dari KMP.

Berbagai carapun dilakukan KIH untuk menyelamatkan kepengurusan Golkar pimpinan Ical termasuk mengancam hak angket kepada menteri Hukum dan Ham Yassona Laoly.

Bahkan Ical menyewa pengacara hebat yaitu Yusril Ihza Mahendra untuk membatalkan keputusan menteri Hukum dan Ham melalui gugatan yang diajukan ke PTUN.

Namun ada yang menarik, justru Yusril Ihza Mahendra seperti diikuti dari kompas.com mengakui bahwa kepengurusan partai golkar yang sah adalah Agung Laksono pada saat ini.


Sebagai seorang advokat sikap bang Yusril Ihza Mahendra bisa menjadi contoh bagi advokat lainnya yang menangani perkara harus berani berkata sesuai dengan hati nurani jangan sampai melakukan pembelaan membabi buta kepada klien meskipun hal tersebut bertentangan dengan hati nurani seorang advokat sebagai penegak hukum.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar